oleh

Utang Bulog: Krisis Kepercayaan Petani

Oleh : Akhmad Syafruddin

Teguran keras DPRD Sumbawa Barat terhadap Perum Bulog akibat keterlambatan pembayaran kepada 40 petani jagung senilai 142 ton bukanlah cerita baru. Ini adalah episode lain dari drama panjang yang memperlihatkan keroposnya fondasi perencanaan pertanian.  persoalannya melampaui sekadar kelalaian administratif; ini adalah bukti nyata dari diskoneksi kebijakan, lemahnya kemauan politik (political will), dan kerja yang abai data.

Meski wajar DPRD menyoroti Bulog sebagai pelaku operasional, kemarahan ini harus dibawa lebih jauh. Sorotan utama seharusnya tertuju pada pemerintah sebagai regulator dan perencana utama. Pertanyaan mendasarnya: bagaimana mungkin Bulog, yang mandatnya adalah penjaga kedaulatan pangan, justru berubah menjadi pihak yang mengerdilkan para pahlawan pangan tersebut?

Akarnya Masalah: Birokrasi yang Berjalan di Tempat

Akar persoalan ini bersumber pada jurang pemisah yang dalam antara perencanaan makro di tingkat kementerian dengan realitas operasional di lapangan. Kementerian Pertanian boleh saja menetapkan target produksi yang ambisius, namun implementasinya sangat bergantung pada pemerintah daerah sebagai pemilik wilayah. Di sinilah sering terjadi disparitas data antara target nasional dan kondisi riil di lapangan, yang kemudian berimbas pada tidak sinkronnya alokasi anggaran dengan jumlah produksi yang dihasilkan petani.

Dalam kondisi demikian, Bulog tidak dapat bergerak dalam ruang hampa. Tanpa panduan dan kepastian kebijakan yang terintegrasi, lembaga ini bagai bekerja dalam kabut. Keterlambatan pembayaran kepada petani, misalnya, seringkali bukanlah persoalan teknis semata, melainkan akibat langsung dari ketidakpastian dana dan mandat yang mereka terima.

Pada ujungnya, petanilah yang menjadi korban utama dari sistem yang terfragmentasi ini. Mereka yang telah mengeluarkan darah dan keringat justru dibiarkan terperosok dalam ketidakpastian, dilukai oleh sistem yang seharusnya menjadi penopang dan pelindung utama mereka.

Komitmen Setengah Hati dan Kultur Kerja yang Amatir

Kasus Sumbawa Barat ini mengonfirmasi ketiadaan political will yang serius dalam mengurus pangan. Wacana ketahanan pangan hanya bergaung keras di podium, tetapi nyaris tak ada wujudnya dalam anggaran dan kebijakan yang konkret dan executable (dapat dijalankan).

Yang lebih memilukan, perencanaan yang ada justru mengabaikan kekuatan data. Sebuah perencanaan yang profesional semestinya lahir dari data real-time: luasan tanam, prediksi produktivitas, hingga peta serapan pasar. Dengan data yang akurat, pemerintah dapat menginstruksikan Bulog untuk turun pada waktu dan porsi yang tepat, melindungi petani dari jerat fluktuasi harga.

Alih-alih memiliki peta jalan yang jelas, kebijakan kita justru didominasi oleh reaksi panik. Saat harga melambung, impor dibuka lebar yang mematikan harga domestik. Saat panen raya dan harga anjlok, Bulog justru kehabisan daya tampung dan anggaran. Ini adalah siklus kegagalan yang terus berulang.

Sebuah Panggilan untuk Perbaikan Sistemik

Teguran DPRD Sumbawa Barat harus menjadi pemantik untuk membenahi sistem, bukan hanya menyelesaikan satu kasus. Momentum ini harus mengarah pada:

  1. Integrasi Data yang Nyata: Membangun platform data pangan terpadu yang menghubungkan Pemda, Kementan, Bulog, dan BPS. Setiap kebijakan harus dilahirkan dari rahim data yang valid.
  2. Kepastian Mandat dan Pendanaan: Pemerintah pusat dan daerah harus memberikan mandat dan alokasi anggaran yang jelas, tepat waktu, dan pasti kepada Bulog untuk penyerapan komoditas strategis.
  3. Perencanaan Proaktif dan Visioner: Membangun strategi jangka menengah yang tidak hanya fokus pada mengejar swasembada, tetapi juga pada membangun mekanisme distribusi, serapan, dan stabilisasi harga yang berkeadilan bagi petani.

Pada akhirnya, utang Bulog adalah cermin dari utang kepercayaan negara pada petani. Utang finansial masih dapat dibayar, namun sekali kepercayaan itu runtuh, siapa lagi yang akan sanggup menopang ketahanan pangan negeri ini? Membayar lunas utang kepada seluruh petani di Sumbawa Barat bukan sekadar memenuhi kewajiban, melainkan langkah pertama memulihkan marwah petani dan kedaulatan pangan kita. Kepemimpinan yang responsif dan solutif adalah kuncinya.

*) Penulis adalah : Pengamat Politik Lokal, Dosen Politik Universitas Nusa Cendana

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *