oleh

Birokrasi Dijarah: Surat Terbuka untuk Bupati Sumbawa Barat atas Mutasi yang Merendahkan Martabat Politik

Ket Gambar : Ilustrasi

Oleh : Akhmad Syafruddin

Kepada Bapak Bupati Sumbawa Barat, Ada sebuah ujian kepemimpinan yang sesungguhnya: apakah seorang pemimpin mampu mengedepankan akal sehat dan kebaikan kolektif di atas dendam politik? Sayangnya, kebijakan mutasi besar-besaran terhadap 178 pejabat di daerah Bapak (Radio Arki, 2025) justru menjawab ujian itu dengan sangat mengecewakan.

Tindakan ini bukanlah kebijakan yang strategis, melainkan sebuah pernyataan politik bahwa birokrasi adalah jarahan kekuasaan yang sah untuk dijarah, dan Sistem Merityang diamanatkan UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 dan UU Nomor 20 Tahun 2023 bisa ditelikung demi kepentingan sempit.

Yang paling memprihatinkan, jika motif di balik mutasi ini adalah untuk “menghukum” kelompok atau pegawai yang dianggap sebagai lawan politik, maka hal itu bukan hanya melanggar hukum, tetapi secara terang-terangan merendahkan citra politik Bapak sendiri.

Seorang pemimpin dengan kematangan politik justru akan melakukan rekonsiliasi, membangun jembatan komunikasi dengan semua pihak yang berbeda pandangan. Meminggirkan dan “menghukum” melalui mutasi justru membuktikan ketidakdewasaan dan kedangkalan visi berpolitik. Bandingkan dengan apa yang terjadi di Kuningan, di mana LSM Frontal menuding mutasi sebagai politik balas budi (Aktualid.net, 2025), atau di Sumatera Selatan, di mana DPRD setempat resmi mempertanyakan politisasi ASN (Sriwijaya Post, 2024). Bapak ingin ditempatkan di barisan pemimpin seperti apa?

Pertanyaannya kini: di mana komitmen Bapak pada instrumen yang Bapak sendiri miliki? Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah menyediakan aplikasi PINTER (Penilaian Mandiri Penerapan Sistem Merit). Apakah Bapak berani menjadikan mutasi ini sebagai bahan evaluasi dan mempublikasikan hasilnya? Atau jangan-jangan, hasil penilaian PINTER untuk daerah Bapak justru akan mengonfirmasi bahwa prinsip Netralitas ASN yang dijaga KASN telah dikhianati?

Yang lebih mendasar: apakah para pejabat pengganti tersebut melalui proses seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) yang sesuai dengan undang-undang? Jangan-jangan pengisian jabatan-jabatan strategis itu dilakukan tanpa kajian mendalam tentang kompetensi, rekam jejak kinerja, dan integritas sebagaimana diamanatkan UU ASN. Jika proses seleksi terbuka untuk JPT dilangkahi, maka Bapak bukan hanya melakukan pelanggaran etik, tetapi telah mengkhianati proses hukum yang menjadi fondasi birokrasi modern.

Oleh karena itu, saya mendesak Bapak untuk tidak hanya menghentikan praktik ini, tetapi juga memulai langkah-langkah perbaikan yang konkret dan berintegritas:

  1. Hentikan Segala Bentuk Mutasi Balas Dendam. Jadikan mutasi 178 pejabat ini sebagai pelajaran terakhir. Setiap mutasi ke depan harus didasarkan pada peta kompetensi dan analisis beban kerjayang transparan.
  2. Lakukan Rekonsiliasi Internal. Panggil dan dengarkan semua pihak, terutama kelompok atau individu yang merasa menjadi korban dari kebijakan ini. Bangun kembali kepercayaan bahwa birokrasi adalah rumah bersama, bukan medan perang politik.
  3. Transparansikan Proses Seleksi Terbuka JPT. Buktikan kepada publik bahwa kompetensi, integritas, dan rekam jejak kinerja adalah satu-satunya syarat untuk menduduki jabatan strategis, bukan loyalitas politik.
  4. Gunakan Instrumen PINTER dengan Jujur dan Bertanggung Jawab. Jadikan alat ini sebagai peta jalan untuk membenahi sistem merit di Sumbawa Barat, bukan sebagai dokumen pengesahan yang formalistis.

Bapak Bupati, pilihan Bapak hari ini akan menentukan bagaimana sejarah mencatat kepemimpinan Bapak. Apakah Bapak akan dikenang sebagai pemimpin yang bercitra rendah karena gemar berburu lawan, atau sebagai negarawan yang berwibawa karena berani membangun birokrasi yang profesional dan inklusif? Saya masih percaya Bapak bisa dan akan memperbaiki semua ini. Buktikanlah bahwa politik yang dewasa dan bijaksana masih mungkin diwujudkan di Sumbawa Barat. Kembalikan martabat birokrasi, pulihkan kepercayaan yang retak, dan pimpinlah dengan hati nurani, bukan dengan dendam.(*)

Penulis adalah : Pengamat Politik Lokal Universitas Nusa Cendana

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *